SOP Sang Pelupa

Oktober 30, 2009 1 komentar

 

01225356[1] Banyak orang mengira, orang semacam saya tidak percaya SOP. Salah. Saya hanya tidak suka dengan jenis SOP yang hanya sekedar sok mengatur. Tidak jelas intensinya. Sebab bagi saya, SOP adalah cara untuk membuat segalanya bisa berjalan lebih mudah. Tidak repot-repot lagi berpikir untuk mengeksekusi tindakan rutin. Saya bahkan merancang berbagai SOP untuk keperluan pribadi saya sendiri. Karena saya adalah pelupa.

Selain merepotkan orang lain, menjadi pelupa juga jelas merepotkan diri sendiri. Oleh karena itulah SOP menjadi penting dalam membantu seorang pelupa melakukan tindakan rutin tanpa harus kerepotan mengingat setiap detail langkahnya. Juga penting bagi seorang pelupa untuk memastikan bahwa SOP-nya dirancang sesederhana mungkin. Jangan sampai kita terhambat dalam melakukan sesuatu hanya karena kesulitan mengingat prosedur operasionalnya.

Saya punya berbagai SOP untuk berbagai tindakan rutin. Misalnya: prosedur berangkat kerja, prosedur sampai kantor, prosedur sampai rumah, prosedur first thing in the morning, prosedur berangkat ronda, dan masih banyak lagi.

Ini contoh SOP untuk Berangkat Kerja:

1. Cek sepeda

  • Pastikan bahwa sepeda siap untuk digunakan. Standar minimum: cek ban depan belakang.
  • Bila OK, teruskan dengan langkah selanjutnya.
  • Bila ada masalah dengan sepeda, selesaikan.
  • Bila masalahnya terlalu complicated, lupakan sepeda, jalankan prosedur berangkat kantor pakai bis kota.

2. Cek persenjataan

  • Pastikan ponsel ada di kantung depan tas kerja,
  • dompet ada di saku belakang celana,
  • flasdisk ada di saku celana sebelah kiri,
  • rokok dan korek ada di saku celana sebelah kanan.

3. Pamitan sama istri dan budhe, untuk keselamatan dunia aherat.

4. Onthel safety first

  • Wheater at glance: bila cenderung gerimis pake jaket, bila panas menyengat pake pelindung lengan;
  • Pasang clipper di ujung pipa celana kanan,
  • kenakan helm’,
  • siapkan kacamata, jangan dipakai dulu,
  • pakai sepatu, akhirnya tas kerja

5. Social responsibility

  • Di gerbang ungak-inguk . Kalau ada tetangga, say hello. Kalau enggak, pakai kacamata.
  • Berangkat

Sangat penting untuk menjalani SOP ini secara akurat, tepat dan akurat, bila ingin terhindar dari berbagai eksiden dan insiden.

Fatal jadinya bila sampai kelupaan memasang penjepit pipa celana. Karena sepeda saya tidak bisa dilengkapi dengan pelindung rantai, ada risiko pipa celana tersangkut. Dan ini cukup untuk membuat saya terjungkal dengan memalukan.

Bisa menjadi berabe bila kelupaan pamit sama istri, atau bila berpamitan dalam urutan prosedur yang tidak tepat. Istri saya akan sangat gusar bila harus cium tangan sambil mengendus bau tengik sarung tangan. Apalagi kalau cipika-cipiki dengan helm terpasang.

Jangan sekali-kali say hello sama tetangga dengan sun glasses terpasang. Selain tidak sopan, juga bisa membuat anak tetangga ketakutan. Paling tidak, untuk menghindari terulangnya komentar anak tetangga seperti ini: “Mak é, ayahnya mbak tifa kok kayak kepik ya?”

101 Alasan, Mengapa aku Benci Seragam Sekolah III

Oktober 30, 2009 Tinggalkan komentar

Alasan ketiga: “Alam meragamkan, manusia menyeragamkan”

 

butet-manurung

Keragaman adalah kodrat alam. Itulah sebabnya di antara kita berbeda rupa. Padahal katanya kita berasal dari keturunan yang sama: Adam dan Hawa.

Emang enak sih bila misalnya, seluruh manusia memiliki golongan darah yang sama. Gak repot nyari donor darah. Tapi tidak seperti itu kehendakNya.

Syahdan menurut cerita kang Peter JD’Adamo, pada mulanya manusia memiliki golongan darah yang sama. Seiring dengan pola perubahan perilaku kolektif, bermunculan lah varian golongan darah baru. Gen golda O paling kuno, muncul di jaman peralihan peradaban manusia dari berburu dan meramu ke peradaban agraris. Golda A muncul ketika manusia sudah settle pada peradaban agrarisnya. Kemudian muncul gen golda B, dan akhirnya AB.

Sumpah saya, tidak bermaksud untuk mengajak anda mempraktekkan gaya diet golongan darah. Saya hanya mencoba menegaskan bahwa pada dasarnya manusia tunduk pada hukum alam yang cenderung meragamkan.

Yang tidak jelas dasarnya, adalah kecenderungan ego manusia untuk sok menyeragamkan. Asal-usul tradisi seragam pada peradaban manusia, juga tidak jelas. Mungkin pada awalnya seragam hanya dikenal di kalangan militer. Ini wajar, mengingat pada situasi perperangan memang harus jelas tegas mana kawan mana lawan. Pada perkembangannya kemudian, seragam juga digunakan oleh berbagai kelompok yang merasa perlu menegaskan bahwa ini adalah kami bukan kalian.

Dewasa ini kehebohan manusia Indonesia untuk berseragam ini berseragam itu sudah sampai pada titik yang memuakan. Mengada-ada dan lebai. Baca aja kutipan berita tentang seragam DPRD Jatim:

Seratus anggota Dewan ini mendapat kain woll Italia 100 persen dengan nilai pagu Rp 990 Juta. Setiap anggota dewan juga memperoleh ongkos jahit sebesar Rp 2,85 juta. Artinya, sebelum menjalankan tugas, fasilitas seragam dan ongkos jahit saja, seratus anggota dewan mendapat Rp 1,275 miliar.

(Jakartapress.com; 11/08/2009)

Lebai kan?

Di rumah, istri saya punya puluhan seragam. Dari seragam PKK, arisan, pengajian, sampai seragam senam. Padahal senamnya aja macem-macem. Dari senam Poco-poco, High Impact, sampai senam Lansia. Untungnya saya hanya punya satu seragam saja: seragam kelompok ronda. Jaket seragam, dengan bordir tulisan: “Saturday Night Neighborhood Security System Group”. Jelas saya tidak pernah mau pake seragam itu. Selain malu dengan tulisannya, lebih enakan ronda sambil berselendang sarung. Gimana coba, caranya nyembunyiin rambutan colongan, kalau rondanya pake jaket?

101 Alasan, Mengapa aku Benci Seragam Sekolah II

Oktober 30, 2009 Tinggalkan komentar

Alasan kedua: “Apa Hubungannya Pendidikan dengan Seragam Sekolah?”

disiplin sekolah Sejujurnya, aku benci Konvensi Hak Asasi Anak, yang telah menyederhanakan pemaknaan hak pendidikan anak menjadi wajib belajar 9 tahun; yang membiarkan pemaknaan wajib belajar menjadi hak eksklusif negara untuk menggiring anak-anak ke institusi pengekangan yang disebut sekolah.

BTW, dari mana ya jedul-nya tradisi sekolah? Jelas bukan dari Cokrobedog, tapi dari mana ya? Orang Sunda menyebutnya: sakola; Bu Mus, Laskar Pelangi: sokolah; Porto: escola; Spanyol: escuela; Prancis: école; Itali: scuola; Inggris, Belanda: school. Arab: madrassa. Berarti jelas bukan dari Arab juga.

Cari yang tuaan dikit ah! Bahasa Inggris kuno: scōl, dari bahasa Latin: schola, dari bahasa Yunani kuno: scholeion, berasal dari kata schole yang artinya: “waktu senggang, bersenang-senang”, yang di kemudian hari bermakna: “percakapan atau pengetahuan yang diperoleh dari percakapan di waktu senggang”. Nah lu! Mengapa pula sekolah harus pake seragam? Gak lucu kan, kalo Socrates berjalan-jalan di pasar Athena diiringi murid-muridnya yang berseragam.

Pernah Lik Mantri Dibyo –yang sekarang udah gak kepake lagi itu– mewacanakan penghapusan seragam sekolah. Di antara banyak orang yang protes, aku diem aja. Orang bilang, seragam penting untuk mendisiplinkan anak. Aku bilang, oke-oke aja tuh tawuran pake seragam. Lagian, apa pula hubungannya perilaku dengan baju? Mengapa pula sekolah harus disiplin? Bila disiplinnya ala militer. Hormat grak! Maju jalan! Teembak di tempaaat, grak!!!

Orang bilang, seragam perlu untuk menghapuskan kesenjangan sosial diantara anak-anak. Aku bilang, kesenjangan sosial kok dihapus pake seragam? Homo simbolicum banget sih! Cara anak memamerkan kekayaan orang tuanya jauh lebih cerdas, nek! Keren-keranan BB, NB atau status FB, jauh lebih efektif.

Bila memang benar, tujuan pendidikan nasional itu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa…” dst, dst. Kira-kira, apa ya kontribusi seragam terhadap kecerdasan anak? Bagiku, yang jelas kelihatan adalah kontribusi negatif seragam terhadap kebebasan anak untuk mengekspresikan dirinya seperti yang dimandatkan KHA. Dari mana munculnya kecerdasan, bila kita dihadapkan dengan potret anak-anak yang duduk berderet rapi. Dengan baju yang sama, dengan cara duduk bersidekap yang sama, dengan cara berekspresi yang sama. Kok kayak toys factory?

Kata orang, kecerdasan anak tumbuh berbanding lurus dengan kekayaan stimulus yang diterima dari suasana lingkungan belajarnya. Nah, kalau yang ini aku setuju. Kemudian muncul serangkaian gambar (dengan kecepatan 24 frame/detik) di kepalaku:

(Seorang anak yang belepotan lumpur bertanya sambil mengacungkan tangan tinggi-tinggi, setelah sebelumnya dengan lengan bajunya menghapus ingus di hidung)

“Bu Guru, mengapa ya mamahku melarang hujan-hujanan? Padahal mamahnya kodok mengajak anaknya bernyanyi kalau hujan.”

(Kemudian melempar seekor kodok yang dirogoh dari saku bajunya ke hadapan Bu Guru).

101 Alasan, Mengapa aku Benci Seragam Sekolah I

Oktober 28, 2009 4 komentar

SpatuHitamAlasan pertama: ‘Sepatu Hitam Bertali’

Lima tahun yang lalu. Hari pertama anak ku yang paling besar masuk SMP. Terpancar kebanggaan dari raut mukanya, ketika berjalan hilir mudik menunggu saatnya berangkat.
Sekolah baru, seragam baru, dan sepatu baru. Sepatu casual hitam dengan sedikit sentuhan strip abu-abu. Keren banget. Mamahnya bilang, sedikit mahal gak apa-apa, yang penting anak senang. Sambil tetap tersenyum, batinku berkata lain. Emh, dana asuransi pendidikan ternyata hanya cukup untuk menutup biaya seragam. Untuk iuran pembangunan sekolah masih harus pusing cari utangan.
Sorenya, sepulang dari kantor, kulihat suasana yang sama sekali berbeda. Suasana berkabung. Anakku duduk tercenung, sambil berpeluk lutut. Mamahnya bermuram durja.
Setelah kupancing-pancing, akhirnya keluar juga sebuah pengakuan. Dengan terbata-bata anakku mengadu. Pak X (entah guru apa), sewaktu apel bendera, mengancam akan mengumpulkan dan membakar sepatu anak-anak yang tidak sesuasi aturan seragam sekolah. Ternyata sepatu seragam sekolahnya, harus benar-benar hitam, dan bertali.
Mendengar itu, kontan telingaku berdenging. Omong kosong apa lagi ini? Jantungku berdegup keras, lutut dan tanganku bergetar, tengkuk mengencang. Ini dia warisan ibuku: hiper tensi. Tanpa melepas tas kerja, terhuyung-huyung aku berjalan ke belakang rumah.
Menghempaskan pantat di pinggir kolam, lalu menyulut sebatang rokok. Dari balik tabir asap rokok, kulihat ikan beraneka warna berenang kian kemari. Pelan tapi pasti, degup jantungku mereda. Thanks God, telah Kau ciptakan ikan beragam warna. Apa lucunya bila semua ikan sama warnanya.
Tak lama kemudian, istriku datang dengan secangkir kopi plus beberapa kerat singkong goreng. Hidangan pavorit, yang kali ini sama sekali tidak menarik minat. Sambil tetap tercenung, aku mencuil-cuil ketela goreng dan melemparnya ke kolam. Ikan-ikan itu kontan berkecipuk, berebut, berkejar-kejaran. Pikiranku mengembara kemana-mana.
Mengapa ya, dalam bahasa Inggris gerombolan ikan juga disebut ‘school’? Kalau ikan-ikan itu disekolahkan, apa akan diseragamkan juga, ya? Mengapa ya, ada guru setolol itu? Apa jadinya dunia, kalau anak-anak dididik di bawah ancaman, diteror dengan mangatasnamakan disiplin? Mengapa ya, tidak dibiarkan saja anak-anak leluasa mengekspresikan dirinya melalui baju yang dikenakannya? Balik lagi, mengapa ya ada guru sebodoh itu?
Mungkin ini jawaban dari semua pertanyaan itu: "Di dunia yang bodoh, hanya orang paling bodoh yang punya kuasa membodohi orang-orang bodoh."

Kategori:Catatan Tag:, ,

Sekolah Memang Mahal dan Tidak Perlu

Oktober 28, 2009 Tinggalkan komentar

bengkel spedaPas di seberang SLB, jalan Wates, saya punya langganan bengkel speda. Saya biasa menjulukinya koh Bengkel, karena beliau seorang keturunan Tionghoa. Setengah baya, cerdas, dan selalu tampil perlente. Bersepatu, berkacamata, berkemeja putih tangan panjang. Jelas profil semacam ini terlalu berlebihan untuk seorang montir speda yang ongkos servisnya tidak pernah melebihi angka 10 ribu.

Jangan pernah membayangkan ruang bengkel yang gelap, kumuh, dengan lantai tanah beraroma oli. Yang ini beda banget. Ruangan berlantai keramik yang tidak terlalu besar, didominasi etalase kaca dan rak pajang onderdil, serta sederetan speda butut.

Bila saya datang ke bengkelnya, koh Bengkel akan menyambut dengan sapaan ‘halo bos’-nya yang akrab. Setelah mengambil alih speda disertai sekilas pertanyaan tentang jenis kerusakan yang perlu ditanganinya, dia akan mempersilahkanku untuk duduk di sebuah kursi plastik, sambil menyodorkan koran hari ini, yang biasanya tidak sempat kubaca.

Gimana mau sempat baca? Sambil tetap sibuk mengotak-atik speda, koh Bengkel akan nyerocos memancing diskusi dalam berbagai tema kontemporer. Dari masalah sosial, politik, ekonomi sampai ke masalah agama. Kadang-kadang saya menimpali omongannya, kadang-kadang saya cukup ber-’oya, oya’ atau ber-‘o gitu toh?’ Tapi dia tidak pernah kehabisan bahan cerita. Gak ada matinya.

Nah, suatu waktu, entah dari mana asal muasalnya tiba-tiba diskusi bermuara ke arah pendidikan. Setengah curhat, koh Bengkel mengeluhkan tingginya biaya pendidikan. Dan menurut dia, ongkos pendidikan sama sekali tidak rasional dibanding dengan manfaat yang bakal diterima anak didik.

Anaknya yang ragil masih di SMA. Dia telah memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan anaknya ke bangku kuliah seperti kakak-kakaknya. Si Ragil akan dimentornya sendiri untuk menjadi penerus kerajaan bisnis bengkel spedanya.

Tanpa diminta, kemudian koh Bengkel membeberkan hasil cost and benefit analisys yang telah dilakukannya. Dengan rinci, dia uraikan skenario cost yang bakal dipikulnya bila si Ragil kuliah. Jumlah-jamleh, totalan tanpa perlu pake fungsi @sum-nya exel, munculah angka di atas seratus juta.

Lalu, bagaimana dengan benefitnya? Menurut dia, gak ada, nihil, nol putung. Buktinya, setelah lulus kuliah, kakak-kakaknya masih harus dicarikan pinjaman untuk buka usaha sendiri. Sampai sekarang gak maju-maju. Mau diajarin gak mau, wong merasa lebih pintar.

Sebagai seorang yang pernah bertahun-tahun duduk di bangku kuliah, terus terang intelektualitas saya agak terusik dengan cara berfikir yang simplisitis semacam itu. Saya pun berusaha membantahnya. Di kampus banyak manfaat yang bisa diperoleh. Ada ini, ada itu, bisa ini, bisa itu. Sampai berbuih saya menguraikannya. Dan dia menjawabnya dengan pendek: ‘Ada toh kampus seperti itu? Setahu saya cuma ajang tawuran.’ Dan saya pun terdiam.

Setelah jeda agak lama, dia pun mulai angkat bicara lagi. Menurutnya dalam dunia nyata, yang perlu kita kuasai tidak seheboh seperti yang diajarkan di bangku sekolah. Untuk membekali si Ragil, dia telah memiliki cukup ilmu manajemen praktis. Kalau masih kurang juga, si Ragil bisa mengasah kemampuan manajerialnya sambil praktek. Kalau sekedar konsep gak perlu repot-repot, kan ada ‘Koh Gugel’.

Pembicaraan pun terputus, ketika ada bapak-bapak tua masuk –kelihatannya model pensiunan. Koh Bengkel pamit untuk melayani dulu tamunya. Dua orang itu pun mojok di depan counter. Setelah ngobrol sejenak, pak Tua menyerahkan sejemput uang sepuluh ribuan. Koh Bengkel menghitungnya dengan cepat, lalu mengacungkan jempol. Pak Tua pun pamit, pergi sambil menuntun sebuah sepeda dari deretan sepeda butut di ruang depan bengkel.

Oalah, ini toh ‘dunia nyata’ koh Bengkel!? Pantesan bengkel sepedanya keren. Saya harus segera mengganti namanya menjadi koh Gadai: ‘Memecahkan masalah tanpa masalah’.

Reward and Funishment

M. Tata Taufik

 

carrot3Selalu, yang ada di benak saya bila memikirkan istilah ini adalah gambar kereta kuda. Si Sais memegang dua tongkat. Di tangan kiri tongkat dengan wortel tergantung diujungnya, di tangan kanan tongkat cambuk. Rod or carrot. Makanya saya tidak pernah punya keinginan menerapkan konsep ini dalam manajemen organisasi saya. Rasanya seperti memperlakukan orang sebagai kuda beban.

Dalam manajemen produksi jaman perbudakan, jelas yang berlaku adalah konsep push and funish. Cambuk digunakan untuk memacu pekerja. Bila ada kesalahan cambuk digunakan lebih keras lagi. Tidak ada mendingnya, tapi namanya juga perbudakan. Pada awal jaman industrialisasi, ketika para budak kemudian dinamai buruh, konsep funishment diberlakukan tanpa diimbangi dengan adanya reward. Karena upah telah dengan sendirinya dianggap sebagai reward, pihak manajemen tinggal memikirkan funishment doang.

carrot1

Manajemen modern, maunya menerapkan konsep reward or punishment secara proporsional dan berimbang. Orientasinya jelas, peningkatan kinerja organisasi. Bila perilaku karyawan berkontribusi positif terhadap kinerja organisasi, dapat penghargaan. Sebaliknya, bila negatif ya diberi sanksi.

Dalam prakteknya, sering terjadi kegamangan dalam penerapan konsep ini. Pertama, dalam memberi reward orang cenderung merasa tidak perlu terlalu hati-hati. Tetapi, ketika akan memberikan funishment, orang cenderug berpikir dua kali. Bahkan berkali-kali, sampai akhirnya tidak jadi memberikan sanksi.

Kedua, masih ada kesimpangsiuran dalam memaknai kinerja. Dalam birokrasi pemerintahan, misalnya, konsep kinerja dipandang tidak perlu lagi repot-repot dideskripsikan. Ketika berkesempatan memfasilitasi Lokakarya Implementasi Digital Government Services pada Pemerintah Kabupaten/Kota se-DIY (kapan, ya? Lupa aku), saya menangkap kesan itu.

Pada waktu saya mengajak peserta untuk melakukan eksplorasi pemaknaan kinerja, sama sekali tidak terjadi pengerucutan diskursus. Hanya satu yang disepakati dengan bulat, bahwa istilah kinerja identik dengan istilah performance. Diskusi malah kemudian bergeser pada pemahaman disiplin kerja, karena disiplin kerja dipandang sebagai kriteria penting kinerja birokrasi.

Lalu, apa saja indikator disiplin kerja? Banyak. Ada yang abstrak ada yang relatif terukur. Mulai dari loyalitas pada negara dan Pancasila sampai ke masalah jam kerja. Nah, lu! Bagaimana pula cara mengukur loyalitas pada negara dan Pancasila? Jawaban peserta: ‘Oh, itu domainnya pimpinan’. Sambil tersenyum kecut.

Akhirnya, saya tidak mampu menahan diri untuk berbuat usil. Biar tambah pusing, sebagai bahan pembanding saya tunjukkan rumusan performance dalam manajemen produksi.

Performance = (output – input)/waktu proses.

Ketika para peserta ditantang untuk memasukkan variabel ‘loyal pada Pancasila’ dalam formulasi tadi, semuanya menggelengkan kepala sambil tersenyum asam manis.

Berikutnya, beralih pada variabel disiplin waktu yang disederhanakan menjadi ketepatan jam datang dan pulang kantor. Kali ini, yang bermunculan adalah senyum bingung. Ternyata disiplin waktu berkontribusi negatif terhadap rumusan kinerja. Karena waktu proses adalah bilangan pembagi, jadinya lebih lama waktu kerja, akan lebih rendah perolehan kinerjanya.

Sebagai penutup sesi, secara berseloroh saya mengusulkan untuk melakukan reinventing terhadap penerapan disiplin kerja di kalangan birokrasi. Selama tidak berkaitan dengan keharusan bertatap muka dengan klien atau kerabat kerja, para pegawai negeri dianjurkan untuk tidak ngantor. Bekerja produktif dengan hati riang dilakukan dirumah. Hasil kerja dikirim lewat internet. Dengan demikian negara akan berhemat dari biaya transportasi, uang makan, dan biaya fasilitas kantor.

Tentu saja usulan saya ini hanya ditertawakan. Gila apa?

5 Oktober 2009
Kategori:Catatan Tag:,

Mengurai Benang Kusut DPT

April 15, 2009 1 komentar
M. Tata Taufik*

 

Prolog

kusutEmpat hari menjelang pemilihan legislatif, seorang warga yang kehilangan hak pilihnya mendatangi penulis —dalam kapasitas penulis sebagai pengurus RT. Dengan gurat wajah penuh kekecewaan, beliau menanyakan, apakah masih terbuka kemungkinan untuk memasukkan namanya ke dalam DPT pemilihan legislatif. Mengingat dalam pemilihan lurah setempat yang dilangsungkan beberapa bulan sebelumnya beliau sekeluarga juga kehilangan hak pilih gara-gara persoalan yang sama. Dengan sangat hati-hati penulis menyampaikan bahwa masalah DPT jauh dari jangkauan kewenangan seorang pengurus RT, dan juga bukan DPT namanya kalau masih bisa dirubah. Sekedar untuk meyakinkan beliau, pada saat itu juga, via hand phone penulis menghubungi seorang anggota KPUD dan menyampaikan persoalan tersebut. Jawabannya jelas tidak bisa, dan sebagai kalimat penghibur, ditambahkan informasi bahwa warga yang memiliki hak pilih namun tidak tercatat di DPT pemilihan legislatif, akan dicatat pada daftar tambahan DPT pemilihan presiden yang akan datang. Setelah mendapatkan penjelasan dari pihak yang lebih berwenang, beliau pun kemudian pamit undur diri, dengan sedikit senyum yang sama sekali gagal menyembunyikan ketidakyakinannya.

Kejadian serupa ini jelas bukan kejadian istimewa, hanya sebuah kasus minor dari ribuan bahkan jutaan kasus serupa yang terjadi di seluruh tanah air. Jelas tidak istimewa dibandingkan dengan kejadian di RT tetangga, yang 63 warganya tidak tercantum di DPT termasuk ketua KPPS dan keluarganya. Atau kejadian di kecamatan lain, ketika puluhan nama tercantum di DPT dengan alamat yang sama, dan kesemuanya ternyata tidak berada di alamat tersebut. Atau kejadian aneh buka sulap bukan sihir lainnya yang terjadi di berbagai tempat. Kasus-kasus kekacauan DPT merebak di seluruh tanah air dan menebarkan bau busuk, yang pada gilirannya mengundang kasak-kusuk para politikus, laiknya burung nazar mengerumuni bangkai. Pertanyaan yang mengusik adalah, mengapa sangat sedikit orang yang mau sungguh-sungguh peduli dengan kasus ini dengan melihatnya dari perspektif hak konstitusional warga negara? Mengapa MUI begitu heboh mengharamkan golput —orang-orang yang tidak mau menggunakan hak politiknya, tanpa sedikit pun tergugah untuk menghukumi tindakan pengabaian hak politik warga negara yang terjadi secara sistemik?

Ketika seorang warga biasa mengamati proses penyusunan DPT

Indikasi kekacauan DPT, sebenarnya sudah bisa diraba sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Sejak dilakukannya proses pemutakhiran data penduduk untuk kepentingan pemilu 2009. By design, proses pemutakhiran data penduduk ini diperlukan untuk memastikan bahwa data yang akan diserahkan pemerintah kepada KPU benar-benar didasarkan pada data penduduk yang absah, akurat dan mutakhir. Proses penyusunan DPT-nya sendiri, bila melihat Peraturan KPU nomor 10 Tahun 2008 tentang tata cara penyusunan daftar pemilih untuk pemilihan legislatif, seharusnya melalui beberapa tahapan berikut:

Proses Penyusunan DPT menurut Peraturan KPU no 10 Tahun 2008

Tahapan

Pelaksana

Target Waktu

Data kependudukan dan DP4 diserahkan kepada KPU

Pemerintah daerah

12 bulan sebelum pemilihan

Penyusunan data pemilih

KPU, PPK, PPS

2 bulan

Penyusunan DPS

PPDP, PPS, (dibantu RT, RW)

30 bulan

Pengumuman DPS kepada warga

PPS

7 hari

DPSHP

PPS

 

Pengumuman DPSHP kepada warga dan peserta pemilu

PPS

3 hari

DPSHP Akhir

PPS

 

Penyerahan DPS, DPSP dan DPSP Akhir dari PPS kepada KPU Kabupaten/Kota melalui PPK

PPS, PPK

 

Penetapan DPT oleh KPU Kabupaten/Kota

KPU

20 hari

Penyerahan DPT kepada KPU Propinsi dan KPU

KPU

 

Pengumuman DPT

PPS

 

DPTB

PPS

s/d h-3 pemilihan

Pada kenyataannya, proses pemutakhiran data penduduk sangat terlambat dilakukan. Tergesa-gesa, tanpa koordinasi, dan tidak disertai arahan teknis yang jelas. Idealnya hasil pemutakhiran data penduduk digunakan untuk konsolidasi data penduduk pada sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) di tingkat kecamatan. Mengingat sampai sejauh ini, karena keengganan warga untuk secara proaktif mendaftarkan setiap mutasi data yang terjadi pada anggota keluarganya, SIAK belum juga bisa diandalkan untuk menyediakan informasi kependudukan secara valid.

Tidak mengherankan bila kemudian yang terjadi, alih-alih dari menyerahkan data penduduk mutakhir, pemerintah memutuskan untuk menyerahkan DPT pemilu 2004 kepada KPU sebagai acuan penyusunan DPT pemilu 2009. Dari sinilah kekacauan dimulai. Selain bahwa, keputusan itu tidak sejalan dengan asas de jure pada penyusunan DPT, DPT 2004 nyatanya juga tidak terbebas dari kesalahan.

Proses penyusunan DPS juga dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya, secara tergesa-gesa, tanpa koordinasi, tanpa arahan teknis, dan tanpa sosialisasi pada warga masyarakat. Di Kabupaten Sleman PPDP otomatis melekat pada sosok kepala dusun. Pada prakteknya, dengan gaya sok kuasa dan kecerobohannya yang khas, tugas tersebut didelegasikan kepada orang-orang tertentu (bukan pengurus RT) di masing-masing RT tanpa surat tugas, juga tanpa instruksi yang jelas. Karena pada tahapan ini proses coklit sepenuhnya dilakukan secara manual, warga yang tercatat lebih dari sekali, warga yang sudah meninggal, warga yang sudah pindah, warga siluman, dan warga yang tidak memiliki hak pilih (TNI, POLRI, dan warga yang belum memenuhi syarat) banyak yang terlepas dari pengamatan petugas. Dengan hanya mengandalkan daya ingat petugas semata, warga yang memiliki hak pilih tapi tidak tercantum dalam data pemilih kemudian dicantumkan di DPS.

Potensi kesalahan berikutnya ada pada proses entry data di PPS. Kesalahan klerikal (seperti kesalahan mengeja nama) masih bisa dimaafkan, sepanjang tidak ada record data yang terlompati. Namun bila melihat banyaknya kejadian doble entry pada DPT, terlihat bahwa operator komputer di PPS, PPK dan KPU tidak memiliki tingkat literasi komputer yang memadai. Hanya dengan teknik sorting sederhana, sebenarnya sangatlah mudah untuk mengeliminasi data pemilih yang tercatat lebih dari sekali. Apalagi bila pencatatan NIK pada data pemilih sudah dipastikan akurasinya.

Tahapan pengumuman DPS untuk mendapatkan masukan dan verifikasi dari masyarakat, seharusnya menjadi katup pengaman dari kesalahan pendaftaran dan pencatatan. Sayangnya, paling tidak di wilayah domisili penulis, tahapan ini tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Hampir semua warga masyarakat sama sekali tidak mengetahui adanya proses penyusunan DPS, apalagi mencermati pengumuman DPS.

Peluang terjadinya digital data lost pada proses coklit dan rekapitulasi di PPK dan KPU Kabupaten juga sangat terbuka. Menurut penuturan seorang anggoat PPK, DPS hasil pemutakhiran hanya dikirimkan dalam bentuk soft copy, tanpa dilengkapi dokumen hard copy dan berita acara. Dalam situasi serba tergesa-gesa, sangat mungkin terjadi kesalahan kirim file. Bukannya file data hasil pemutakhiran yang dikirmkan, namun justru data awal sebelum perubahan yang terkirim. Dalam situasi seperti ini proses pemutakhiran data yang melibatkan banyak orang, waktu dan biaya menjadi sia-sia. Dan yang lebih parah lagi, indikasi kesalahan pengiriman dan pengelolaan file juga bisa terjadi ketika DPT masuk percetakan untuk diperbanyak.

Epilog

Apa yang disampaikan penulis sama sekali tidak bisa digeneralisir. Apa yang terjadi menurut pengamatan penulis bisa saja berbeda kejadiannya di daerah lain. Tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Penulis hanya mencoba untuk mengajak semua orang belajar dari kesalahan yang telah terjadi. Paling tidak agar pengabaian hak konstitusional warga tidak terjadi lagi pada Pilpres yang akan segera datang. Namun bila menyimak pernyataan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary usai memimpin rapat koordinasi dengan KPU Provinsi, Selasa (14/4/2009), sepertinya masih layak bila masyarakat tetap pesimis. Beliau menyampaikan, ada tiga rencana yang akan dimatangkan KPU untuk meyelesaikan kisruh DPT. Pertama, dengan menghapus nama pemilih ganda. Kedua, mengusulkan agar setiap rumah warga yang sudah didata menjadi pemilih dalam Pilpres diberi tanda stiker. Ketiga, mengusulkan agar petugas KPPS dipimpin oleh Ketua RT setempat.

Rencana pertama, untuk hanya menghapus nama pemilih ganda jelas tidak mencerminkan adanya kepemihakan pada hak konstitusional warga (beliau ini kelihatannya lebih takut pada parpol). Rencana kedua, jelas-jelas bullshit, mengingat kurangnya anggaran dan terlambatnya pencairan anggaran selalu menjadi apologi atas ketidakberesan kinerja KPU. Rencana ketiga, jelas-jelas menunjukkan ketidakpahaman beliau atas substansi persoalan DPT. Mengingat tugas KPPS hanya terbatas pada proses yang terkait langsung dengan pemungutan suara, tidak pada proses pendaftaran pemilih.

Ada yang usul untuk mengganti ketua KPU?

M. Tata Taufik*, Pengurus RT 08/12, Cokrobedog, Sidoarum, Godean, Sleman
Kategori:Artikel

Tungku Gasifikasi

Kategori:Rancangan

FAIR PLAY DALAM BERMAIN KAYU

Juni 3, 2003 1 komentar
M. Tata Taufik

“Bila Anda mau terjun di bisnis kayu, Anda harus bisa bermain kayu”. Dalam dinamika bisnis furnitur, nasehat semacam ini sepertinya sudah terinternalisasi begitu mendalam di sanubari para pelakunya. Anda bisa tidak mempercayai moralitas semacam ini, tetapi Anda juga mungkin tidak bisa menghindarinya bila Anda terlibat di dalamnya.

Mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi sampai dengan pemasaran, persoalan etika bisnis selalu menghantui. Yang kesemuanya secara moralitas seolah diabsahkan demi kelancaran usaha. Karena alasan moral dan hukum, menjadi penadah barang curian tentu tidak akan mereka lakukan. Tetapi ketika menerima kayu hasil jarahan, misalnya, persoalannya dipandang dengan cara yang sangat berbeda. Sepertinya ‘lha habis gimana lagi..?’ Menjadi klausul justifikasi, yang bisa mencuci semua noda moral.

Tanpa bermaksud memerankan diri sebagai garda pengawal moral, atau menjadi hakim yang memutuskan vonis benar-salah, wacana ini akan lebih diorientasikan kepada persoalan etika bisnis dari sudut pandang bisnis itu sendiri. Mempersoalkan etika bisnis dari sudut moral bisa jadi hanya akan menggiring diskusi ke arah relativitas atau bahkan absurditas belaka.

Dari sudut pandang pengembangan usaha, masalah etika bisnis lebih dititikberatkan kepada upaya untuk mewujudkan lingkungan dan kultur bisnis yang sehat.
Kompetisi yang sehat tentu takan terjadi, ketika persaingan usaha lebih ditentukan oleh kekuatan kapital, banting-bantingan harga dan uang pelicin. Persaingan dengan mengedepankan kualitas produk menjadi tidak mungkin ketika QC bisa disogok.

Tidak berjalannya etika bisnis juga telah menyebabkan high cost economy. Biaya lain-lain tidak hanya timbul dari sogokan atau pungutan liar, tetapi juga biaya yang terpaksa dikeluarkan karena kecurangan relasi usaha, atau bahkan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengantisipasi terjadinya kecurangan tersebut.

Persoalan akan menjadi semakin rumit ketika hancurnya etika bisnis telah menyebabkan hancurnya juga collective trust. Dalam bisnis furnitur di Jepara misalnya, besar kecilnya DP ditentukan oleh tingkat kepercayaan buyer terhadap suplayer. Ketika tingkat kepercayaan kolektif menurun, yang tejadi kemudian adalah munculnya komentar seperti ini: ‘Ngasih DP sama perajin di Jepara sama saja dengan ngasih uang jajan. Barang enggak jadi uang hilang’. Tidak heran bila kemudian para buyer lebih cenderung bermitra dengan suplayer dari daerah lain, yang tingkat expertise produksinya sebenarnya masih di bawah Jepara. Sekarang ini banyak perajin Jepara yang terpaksa melempar barangnya melalui Yogyakarta.

Untuk menegakkan etika bisnis tentu saja menjadi pekerjaan yang sangat sulit dan memakan waktu. Pendekatan kultural sepertinya menjadi satu-satunya alternatif yang mungkin.

03 Juni 2003, 8:42:26

Mengapa Harus Mikro?

Juni 3, 2003 1 komentar
M. Tata Taufik

Bila Sumacher berkata: “Small is beautiful”, Pak Nursalim —orang Mlonggo— bisa saja bilang, “Micro is rekoso”. Ini terjemahan sekenanya dari apa yang beliau ungkapkan: “Kita, pengusaha yang kecil-kecil ini, tidak lebih dari sekedar perahannya para buyer. Kita yang punya barang malah rekoso, mereka yang menjual barang kita jadi mulyo.” Ungkapan ini memang begitu pahit. Mengingat di era keterbukaan informasi, wawasan mereka juga menjadi lebih terbuka. Mereka sadar betul bahwa posisi tawar mereka baik pada rantai pemasaran output maupun pada rantai distribusi input berada pada titik terlemah. Mereka sama sekali tidak bisa mengendalikan harga jual barang jadi, begitu juga dengan harga beli bahan baku. Sehingga risiko usaha hampir sepenuhnya harus mereka pikul sendiri, karena tidak bisa memasukkannya ke dalam komponen harga. Jelas ini berat.

Ketika mereka memilih bahan baku, tidak ada seorangpun yang bisa menjamin bahwa kayu gelondongan yang mereka beli bisa dimanfaatkan sepenuhnya. Sering terjadi, walau dari luar kelihatan baik ternyata kayu gelondongan tersebut bagian dalamnya bolong, busuk atau tidak masuk standar yang disyaratkan buyer. Mengingat mereka sangat tergantung pada order dengan kapasitas rendah, satu log kayu cacat bisa berarti kerugian besar bagi mereka.

Tentu saja masih ada seabreg persoalan lain yang menggumpal, dan pada gilirannya memicu keprihatinan bersama banyak pihak. Sekedar di tingkat keprihatinan, mereka memang tidak sendirian. Yang menjadi masalah, ketika masuk ke tataran program aksi hampir tidak ada pihak yang bisa secara signifikan memberikan solusi. Program intervensi pemerintah paling banter hanya bisa menjangkau lapisan atas pengusaha kecil. Program NGO dan layanan BDS provider secara riil paling jauh hanya menyentuh lapisan bawah pengusaha kecil.
Dalam kondisi under served serupa ini, idealnya usaha mikro menjadi peluang potensial bagi para BDS provider untuk berkiprah. Walau jelas tantangannya adalah rendahnya daya beli, peluangnya pun sebenarnya jelas: kuantitas.
Untuk bisa merintis dan melakukan penetrasi ke pangsa pasar ini dengan baik diperlukan strategi yang sesuai. Dengan dibekali sikap dasar penuh kesabaran dan tingginya daya kreatifitas.

Beberapa strategi yang perlu dikembangkan berkaitan dengan bagaimana paket jasa yang ditawarkan bisa dikemas ulang disesuaikan dengan karakteristik usaha mikro. Misalnya, alih-alih menawarkan paket jasa akuntansi, akan lebih sesuai bila menawarkan paket pembukuan sederhana yang bisa dikemas dengan lebih rendah. Jasa konsultatif bisa dikemas ulang menjadi jasa pelatihan kolektif.
Walaupun kemampuan bayarnya rendah secara nominal, pengusaha mikro sebenarnya tidak segan-segan mengeluarkan biaya tinggi bila yakin bahwa uang yang dikeluarkan bisa berdampak positif bagi usaha mereka. Program pembayaran melalui voucher bisa diimplementasikan, tentu saja dengan pertimbangan-pertimbangan khusus. Mungkin yang lebih masuk akal adalah dengan mengintip peluang melalui embeded services, untuk mewujudkan terjadinya transaksi bisnis yang lebih terbuka dan fair.

03 Juni 2003, 8:38:40