Arsip

Posts Tagged ‘seragam’

101 Alasan, Mengapa aku Benci Seragam Sekolah III

Oktober 30, 2009 Tinggalkan komentar

Alasan ketiga: “Alam meragamkan, manusia menyeragamkan”

 

butet-manurung

Keragaman adalah kodrat alam. Itulah sebabnya di antara kita berbeda rupa. Padahal katanya kita berasal dari keturunan yang sama: Adam dan Hawa.

Emang enak sih bila misalnya, seluruh manusia memiliki golongan darah yang sama. Gak repot nyari donor darah. Tapi tidak seperti itu kehendakNya.

Syahdan menurut cerita kang Peter JD’Adamo, pada mulanya manusia memiliki golongan darah yang sama. Seiring dengan pola perubahan perilaku kolektif, bermunculan lah varian golongan darah baru. Gen golda O paling kuno, muncul di jaman peralihan peradaban manusia dari berburu dan meramu ke peradaban agraris. Golda A muncul ketika manusia sudah settle pada peradaban agrarisnya. Kemudian muncul gen golda B, dan akhirnya AB.

Sumpah saya, tidak bermaksud untuk mengajak anda mempraktekkan gaya diet golongan darah. Saya hanya mencoba menegaskan bahwa pada dasarnya manusia tunduk pada hukum alam yang cenderung meragamkan.

Yang tidak jelas dasarnya, adalah kecenderungan ego manusia untuk sok menyeragamkan. Asal-usul tradisi seragam pada peradaban manusia, juga tidak jelas. Mungkin pada awalnya seragam hanya dikenal di kalangan militer. Ini wajar, mengingat pada situasi perperangan memang harus jelas tegas mana kawan mana lawan. Pada perkembangannya kemudian, seragam juga digunakan oleh berbagai kelompok yang merasa perlu menegaskan bahwa ini adalah kami bukan kalian.

Dewasa ini kehebohan manusia Indonesia untuk berseragam ini berseragam itu sudah sampai pada titik yang memuakan. Mengada-ada dan lebai. Baca aja kutipan berita tentang seragam DPRD Jatim:

Seratus anggota Dewan ini mendapat kain woll Italia 100 persen dengan nilai pagu Rp 990 Juta. Setiap anggota dewan juga memperoleh ongkos jahit sebesar Rp 2,85 juta. Artinya, sebelum menjalankan tugas, fasilitas seragam dan ongkos jahit saja, seratus anggota dewan mendapat Rp 1,275 miliar.

(Jakartapress.com; 11/08/2009)

Lebai kan?

Di rumah, istri saya punya puluhan seragam. Dari seragam PKK, arisan, pengajian, sampai seragam senam. Padahal senamnya aja macem-macem. Dari senam Poco-poco, High Impact, sampai senam Lansia. Untungnya saya hanya punya satu seragam saja: seragam kelompok ronda. Jaket seragam, dengan bordir tulisan: “Saturday Night Neighborhood Security System Group”. Jelas saya tidak pernah mau pake seragam itu. Selain malu dengan tulisannya, lebih enakan ronda sambil berselendang sarung. Gimana coba, caranya nyembunyiin rambutan colongan, kalau rondanya pake jaket?

101 Alasan, Mengapa aku Benci Seragam Sekolah II

Oktober 30, 2009 Tinggalkan komentar

Alasan kedua: “Apa Hubungannya Pendidikan dengan Seragam Sekolah?”

disiplin sekolah Sejujurnya, aku benci Konvensi Hak Asasi Anak, yang telah menyederhanakan pemaknaan hak pendidikan anak menjadi wajib belajar 9 tahun; yang membiarkan pemaknaan wajib belajar menjadi hak eksklusif negara untuk menggiring anak-anak ke institusi pengekangan yang disebut sekolah.

BTW, dari mana ya jedul-nya tradisi sekolah? Jelas bukan dari Cokrobedog, tapi dari mana ya? Orang Sunda menyebutnya: sakola; Bu Mus, Laskar Pelangi: sokolah; Porto: escola; Spanyol: escuela; Prancis: école; Itali: scuola; Inggris, Belanda: school. Arab: madrassa. Berarti jelas bukan dari Arab juga.

Cari yang tuaan dikit ah! Bahasa Inggris kuno: scōl, dari bahasa Latin: schola, dari bahasa Yunani kuno: scholeion, berasal dari kata schole yang artinya: “waktu senggang, bersenang-senang”, yang di kemudian hari bermakna: “percakapan atau pengetahuan yang diperoleh dari percakapan di waktu senggang”. Nah lu! Mengapa pula sekolah harus pake seragam? Gak lucu kan, kalo Socrates berjalan-jalan di pasar Athena diiringi murid-muridnya yang berseragam.

Pernah Lik Mantri Dibyo –yang sekarang udah gak kepake lagi itu– mewacanakan penghapusan seragam sekolah. Di antara banyak orang yang protes, aku diem aja. Orang bilang, seragam penting untuk mendisiplinkan anak. Aku bilang, oke-oke aja tuh tawuran pake seragam. Lagian, apa pula hubungannya perilaku dengan baju? Mengapa pula sekolah harus disiplin? Bila disiplinnya ala militer. Hormat grak! Maju jalan! Teembak di tempaaat, grak!!!

Orang bilang, seragam perlu untuk menghapuskan kesenjangan sosial diantara anak-anak. Aku bilang, kesenjangan sosial kok dihapus pake seragam? Homo simbolicum banget sih! Cara anak memamerkan kekayaan orang tuanya jauh lebih cerdas, nek! Keren-keranan BB, NB atau status FB, jauh lebih efektif.

Bila memang benar, tujuan pendidikan nasional itu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa…” dst, dst. Kira-kira, apa ya kontribusi seragam terhadap kecerdasan anak? Bagiku, yang jelas kelihatan adalah kontribusi negatif seragam terhadap kebebasan anak untuk mengekspresikan dirinya seperti yang dimandatkan KHA. Dari mana munculnya kecerdasan, bila kita dihadapkan dengan potret anak-anak yang duduk berderet rapi. Dengan baju yang sama, dengan cara duduk bersidekap yang sama, dengan cara berekspresi yang sama. Kok kayak toys factory?

Kata orang, kecerdasan anak tumbuh berbanding lurus dengan kekayaan stimulus yang diterima dari suasana lingkungan belajarnya. Nah, kalau yang ini aku setuju. Kemudian muncul serangkaian gambar (dengan kecepatan 24 frame/detik) di kepalaku:

(Seorang anak yang belepotan lumpur bertanya sambil mengacungkan tangan tinggi-tinggi, setelah sebelumnya dengan lengan bajunya menghapus ingus di hidung)

“Bu Guru, mengapa ya mamahku melarang hujan-hujanan? Padahal mamahnya kodok mengajak anaknya bernyanyi kalau hujan.”

(Kemudian melempar seekor kodok yang dirogoh dari saku bajunya ke hadapan Bu Guru).

101 Alasan, Mengapa aku Benci Seragam Sekolah I

Oktober 28, 2009 4 komentar

SpatuHitamAlasan pertama: ‘Sepatu Hitam Bertali’

Lima tahun yang lalu. Hari pertama anak ku yang paling besar masuk SMP. Terpancar kebanggaan dari raut mukanya, ketika berjalan hilir mudik menunggu saatnya berangkat.
Sekolah baru, seragam baru, dan sepatu baru. Sepatu casual hitam dengan sedikit sentuhan strip abu-abu. Keren banget. Mamahnya bilang, sedikit mahal gak apa-apa, yang penting anak senang. Sambil tetap tersenyum, batinku berkata lain. Emh, dana asuransi pendidikan ternyata hanya cukup untuk menutup biaya seragam. Untuk iuran pembangunan sekolah masih harus pusing cari utangan.
Sorenya, sepulang dari kantor, kulihat suasana yang sama sekali berbeda. Suasana berkabung. Anakku duduk tercenung, sambil berpeluk lutut. Mamahnya bermuram durja.
Setelah kupancing-pancing, akhirnya keluar juga sebuah pengakuan. Dengan terbata-bata anakku mengadu. Pak X (entah guru apa), sewaktu apel bendera, mengancam akan mengumpulkan dan membakar sepatu anak-anak yang tidak sesuasi aturan seragam sekolah. Ternyata sepatu seragam sekolahnya, harus benar-benar hitam, dan bertali.
Mendengar itu, kontan telingaku berdenging. Omong kosong apa lagi ini? Jantungku berdegup keras, lutut dan tanganku bergetar, tengkuk mengencang. Ini dia warisan ibuku: hiper tensi. Tanpa melepas tas kerja, terhuyung-huyung aku berjalan ke belakang rumah.
Menghempaskan pantat di pinggir kolam, lalu menyulut sebatang rokok. Dari balik tabir asap rokok, kulihat ikan beraneka warna berenang kian kemari. Pelan tapi pasti, degup jantungku mereda. Thanks God, telah Kau ciptakan ikan beragam warna. Apa lucunya bila semua ikan sama warnanya.
Tak lama kemudian, istriku datang dengan secangkir kopi plus beberapa kerat singkong goreng. Hidangan pavorit, yang kali ini sama sekali tidak menarik minat. Sambil tetap tercenung, aku mencuil-cuil ketela goreng dan melemparnya ke kolam. Ikan-ikan itu kontan berkecipuk, berebut, berkejar-kejaran. Pikiranku mengembara kemana-mana.
Mengapa ya, dalam bahasa Inggris gerombolan ikan juga disebut ‘school’? Kalau ikan-ikan itu disekolahkan, apa akan diseragamkan juga, ya? Mengapa ya, ada guru setolol itu? Apa jadinya dunia, kalau anak-anak dididik di bawah ancaman, diteror dengan mangatasnamakan disiplin? Mengapa ya, tidak dibiarkan saja anak-anak leluasa mengekspresikan dirinya melalui baju yang dikenakannya? Balik lagi, mengapa ya ada guru sebodoh itu?
Mungkin ini jawaban dari semua pertanyaan itu: "Di dunia yang bodoh, hanya orang paling bodoh yang punya kuasa membodohi orang-orang bodoh."

Kategori:Catatan Tag:, ,